LINGKUNGAN BISNIS : PELUANG BISNIS ANIMASI

KARYA ILMIAH
LINGKUNGAN BISNIS

 Universitas Amikom Yogyakarta 

”PELUANG BISNIS
ANIMASI DI INDONESIA”


Oleh :

Nama : Farras Ammar Isnandy
NIM : 16.02.9370
Jurusan : D3-Manajemen Informatika 03

TAHUN AJARAN 2016/2017






ABSTRAK


Kondisi Industri animasi di Indonesia pada saat ini, sungguh lah sangat memperihatinkan, padahal sebenarnya produksi animasi para animator–animator Indonesia sudah lumayan banyak dan juga beragam, tetapi kondisi ini diperparah karena murahnya harga beli oleh televisI nasional, sehingga para animator lebih memilih menjual hasil produksinya ke luar negeri.


Di Indonesia animasi belum terrealisasi secara sempurna, bahkan animasi seperti halnya film kartun yang ditayangkan di televisi Nasional di dominasi oleh film - film kartun asing seperti kartun dari Amerika Serikat dan Jepang.

          Sebenarnya peluang bisnis animasi di Indonesia sangatlah besar, karena animasi bukan hanya dipakai dalam film kartun saja, melainkan bisa juga dipakai dalam iklan, atau pun dalam pembuatan film untuk membuat trik yang tidak bisa diperankan oleh manusia pada umumnya ataupun hewan, agar film lebih menarik dan laku.






ISI

I. PENDAHULUAN



Dalam beberapa tahun terakhir, industri Animasi dalam negeri belum berkembang secara maksimal tetapi baru animasi dari amikom aja yang mulai terkenal berjudul "Battle of Surabaya". Meskipun karya animasi sudah layak tampil di layar kaca untuk keperluan iklan komersial atau memenuhi kebutuhan trik dalam film “live” yang tidak bisa diperagakan para pemain film.


Hasil karya animasi juga belum dikemas dalam bentuk industri, karena pemilik produksi masih menempatkan animator sebagai tenaga kerja outsourching saja.Padahal pertumbuhan televisi swasta nasional dan berkembangnya pemirsa televisi harusnya dapat meningkatkan karya animasi lokal.


Kenyataannya hampir seluruh film animasi yang ditayangkan mayoritas masih buatan asing. Selain keperluan televisi,keterampilan membuat animasi dibutuhkan juga untuk mencipta permainan (game), baik “game online” (biasanya berjenjang tingkat kesulitannya dan berkesinambungan dan membuat kecanduan pemainnya), maupun “arcade” (permainan pendek dan cepat). Karya ini justru diminati oleh masyarakat luas,bisa sebagai hiburan atau mendatangkan uang.Karya animasi lokal yang belum maksimal bagi animator disebabkan tidak adanya dukungan dari pemangku kepentingan pada film animasi nasional. kondisi ini diperparah juga dari murahnya harga beli stasiun televisi nasional yang menjauhkan mimpi animator untuk memperoleh keuntungan yang besar.





II. PEMBAHASAN

Karya animasi nasional yang belum maksimal ini, perludicermati akar
permasalahannya.Tidak bisa menyalahkan para penggunanya, misalnya ke stasiun televisi.Beberapa faktor yang menghambat, antara lain :

Pertama, Creative Engine, untuk motivasi berkarya tidak semata-mata hanya karena ada pesanan atau jika dibayar. Melainkan motivasi dalam melahirkan karya akan kecintaannya terhadap profesinya.

Kedua, Soft Competition, seperti kerja tim dan penggunaan bahasa. Ini penting agar industri tidak terpecah belah dan mudah melepaskan diri dari kelompok untukmembentuk studio baru.

Ketiga,Packaging, Pemasaran, dan Distribusi. Banyak produk animasi tidak terjual sehingga tidak mendapatkan pemasukan dari menawarkan karya itu ke media elektronik.

Melihat faktor-faktor tersebut tampak industri animasi nasional belum terstruktur dengan baik. Sehingga daya tahan hidup kelompok industri animasi hanya sementara saja. Artinya, profesi animator hanya disandang ketika mengerjakan pesanan animasi. Setelah proyek selesai, profesinya berganti sebagai pedagang, pramuniaga, atau profesi lainnya, sambil menunggu panggilan kerja di instansi swasta atau pemerintaan.
Kondisi ini, jika dikaitkan dengan besarnya biaya produksi yang menghabiskan minimal Rp 400 juta per 13 episode (1 blok) dapat membuat bangkrut keuangan para animator. Bahkan, sedikit sekali animator yang mampu membangun animasi sebagai industri kreatif meskipun hasilnya bisa mencapai miliaran rupiah per film.

Kemandirian produksi yang belum terjadi pada film animasi lokal, menjadikan profesi animator belum dipercaya sebagai media berekspresi sekaligus sebagai profesi. Mencipta karya juga perlu dukungan teknologi yang memadai. Tak banyak animator mampu memiliki teknologi maju karena membutuhkan investasi yang besar. Sebab teknologi yang mumpuni dapat menekan biaya produksi animasi. Itu sebabnya sistem produksi yang dibangun tidak terjadi, bahkan animator lain dianggap sebagai kompetitor.

Referensi
- Dikutip dari : Artikel "My Knowledge": Judul : "Bangkitkan Animasi Lokal" (Peluang Bisnis Animasi di Indonesia). Oleh: andriv,Diterbitkan: 6 febuari 2010.
- Dan Mahasiswa Amikom : Septia Kholid Wibisono.



Comments

Popular Posts